Bagi setiap mahasiswa yang sudah berada di semester
atas namun belum bisa menyelesaikan tugas akhir akademiknya. Tentu akan
merasakan kegalauan, apakan lagi kalau kemudian di bebani dengan desakan oleh
orang tua atau orang-orang terdekat yang tiap kali jumpa menanyakan prihal kuliah
tersebut, maka beban itu akan berlipat-lipat. Dan mungkin saya di antara orang
yang merasakannya.
Usia sudah lebih dari 27 th, bilangan angka yang
sudah layak buat menikah. Apa lagi sudah lewat 2 th dari targetan usia akan menikah.
Sering jumpa teman-teman sekolah dulu, saling sapa, saling tanya kabar,
kebanyakan dari mereka sudah punya pasangan dan bahkan sudah punya momongan.
Tak jarang mereka tanya, ‘Bayu udah nikah ke?, Udah punye anak berape? Istrinye Orang mane?’dst.... saking terbiasanya saya dengar pertanyaan senada,
rasanya udah bisa langsung jawab pertanyaan mereka sebelum di tanyakan... Namun
saya bersyukur karna kebanyakan dari mereka bahagia dengan keluarga kecilnya. Mendapati itu dalam hati saya berkata ‘kapan saya bisa
Seperti mereka?’.
Mandiri, Kemandirian bagi saya saat ini tidak hanya dalam arti tidak tergantung dengan orang lain (orang-orang terdekat) secara sosial saja, atau dari segi finansial seperti yang kebanyakan orang sangka, namun lebih dari itu. Mandiri yang saya maksud adalah ketika Kita mempunyai Ide dan gagasan terkait grand design kehidupan kita. Apa yang akan di capai dalam jangka waktu beberapa tahun kedepan dalam hidup dan bagaimana memetakan langka-langka mencapai impian dengan kesadaran dan keyakinan atas potensi yang dimiliki. Sementara sejauh ini belum bisa membaca passion kita ada di mana. Ada masukan dari berbagai pihak untuk tawaran pekerjaan dll. Semuanya berkecemuk dalam benak saya. Membangun kesadaran untuk segera selesai kuliah dan masuk pada babak baru, babak di mana harus berkompetisi dengan banyak orang dalam melalui kehidupan ini.
Khoirunnas anfa’ahum linnaas, orang terbaik di antara kalian adalah mereka yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Hadis Rasulullah SAW ini, menyampaikan Indikator orang yang sukses hidup dunia akhirat ialah bagi mereka yang banyak mendatangkan manfaat bagi lingkungan sosialnya. Seseorang di tuntut tidak hanya baik secara personal, karna itu saja tidak cukup, tapi juga musti bermanfaat untuk orang lain. Orang kampung seperti saya, yang setelah lulusnya akan menyandang titel sarjana, tentu akan menjadi momok ketika tak dapat berkontribusi di masyarakat, apa lagi jika setelah selesai akan kembali ke kampung. Kontribusi di sini tentu kontribusi yang di berikan tidak seperti orang kebanyakan, tetapi harus lebih, harus memiliki nilai lebih, yang berefek pada manfaat yang lebih besar. Hal ini pula yang menjadi pemikiran saya. Mulai berfikir untuk hidup dengan cara seperti apa, apa akan kembali ke kampung? membangun kampung halaman? Bagaimana caranya? Di mulai dari mana? Apakah musti masuk sebagai aparatur Desa! Atau menjadi fasilitator pemuda desa! Menjadi pegawai kah? menjadi guru!? atau membuat usaha mandiri dengan memanfaatkan potensi daerah dll.
Dada ini terasa sempit ketika banyak hal yang dianggap masalah namun belum menemukan jalan pemecahan yang kongkrit. Begitupun juga, dada bisa pula terasa sempit ketika dirasa ada banyak impian yang belum terwujud namun belum bisa memetakan langkah-langkah dalam menggapainya. Mungkin tak dapat disamakan dengan keadaan rasul ketika mendakwahkan risalahnya kepada umat pada masa itu yang jahil. Beban berat yang membuat kepala memutih atau tulang punggung bengkok seperti akan patah karna memikul tanggung jawabnya. Tentu tidaklah seberat itu.
Khatam kuliah(pendidikan), kerja, menikah. Urutannya mungkin demikian. Baru setelahnya merumuskan sub-sub pokok dari 3 aspek di atas kedalam rangkaian program hidup yang musti di paparkan. Bismillah. Kalau bukan karna hidayah dari Allah tentu tak satupun hal yang dapat di selesaikan, terlebih mendapatkan Ridho Nya. Karna semakin waktu, terasa semakin banyak tantangan atau hal-hal yang hadir sebagai penggoda dan berat untuk menjadikan saya bisa lebih fokus.