Undang-Undang
Dasar 1945 bertekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperoleh
pendidikan adalah hak setiap warga Negara. Jadi tidaklah berlebihan,
jika pendidikan itu juga merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM).
Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei setiap tahunnya
diperingati oleh pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional.
Peringatan Hardiknas ini juga dilaksanakan di seluruh daerah, baik
propinsi maupun kabupaten/kota. Untuk menghilangkan image negative dari
masyarakat khususnya kalangan orang tua murid yang tidak mampu, bahwa
acara peringatan tersebut hanya akal-akalan dan menghabiskan anggaran,
biasanya acara peringatan ini dikemas dengan label “syukuran”.
Kondisi salah satu sekolah dasar Negeri
di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Memprihatinkan
Bertepatan dengan hari pendidikan tersebut,
diberbagai daerah tanah air kita juga terjadi aksi demonstrasi yang
dilakukan bebagai kalangan khususnya mahasiswa dan aktivis yang peduli
terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia. Tuntutan para demonstran
pada hari pendidikan tahun ini kebanyakan adalah penghapusan
komersialisasi pendidikan dan menagih janji pemerintahan presiden Susilo
Bambang Yudhoyono agar segera merealisasikan yang diucapkannya pada
saat kampanye Pilpres tahun 2004 yang lalu, yaitu akan mengalokasikan
anggaran pendidikan sebesar 20% jika terpilih menjadi presiden.
Masih pada bulan Mei 2005 ini, kita juga dibuat
terkejut, sedih bercampur malu membaca berita yang dimuat berbagai media
massa tentang kasus bunuh diri seorang siswa akibat orang tuanya tidak
mampu membayar uang sekolah. Kita yakin, semua pihak pasti setuju bahkan
sangat mengharapkan peningkatan anggaran untuk sector pendidikan segera
direalisasikan. Lalu, benarkan jika pemerintah mengalokasikan anggaran
pendidikan sebesar 20% dari APBN segala persoalan pendidikan selama ini
dapat teratasi dan kasus bunuh diri siswa diatas tidak terulang lagi ?. Dan
siapa yang bisa menjamin bahwa anggaran sebesar itu tidak akan lagi
dicuri oleh “Gerombolan Maling” yang masih banyak dan bebas berkeliaran
di negeri ini ?.
Besarnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk
pendidikan bukanlah suatu jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan
pendidikan yang murah, apalagi gratis. Bahkan jika penegakan hukum di
negeri ini masih tetap seperti “sarang laba-laba” mungkin keinginan
untuk memperoleh pendidikan gratis tersebut hanya akan tetap merupakan
sebuah wacana atau hanya akan ada di dalam mimpi belaka.
Sebagai gambaran bahwa besarnya anggaran untuk sector
pendidikan bukanlah jaminan persoalan pendidikan dapat teratasi, pada
tahun 2004 lalu Pemerintah Kabupaten Langkat telah mengalokasikan dana
untuk sector pendidikan yang bersumber dari Anggaran pendapatan Belanja
Daerah (APBD) sebesar Rp. 184.511.123.000,- atau sekitar 43 % dari Total
APBD Langkat yaitu Rp. 421.574.725.000,- Dari jumlah tersebut,
Rp.162.608.859.000,- adalah untuk belanja aparatur daerah pada Pos
TK/SDN/SLTPN/SMUN/SMKN. Bukankah anggaran tersebut cukup besar jika
dilihat secara umum ?. Lalu dapatkah masyarakat Kabupaten Langkat
menikmati pendidikan yang murah tapi bermutu ?. Belum tentu, sebab
ternyata di daerah ini masih banyak ditemukan anak usia sekolah yang
tidak bersekolah (putus sekolah) disebabkan ekonomi orangtuanya yang
tidak mampu.
Biaya pendidikan di sekolah pemerintah dan sekolah
yang dikelola oleh swasta di Kabupaten Langkat sama mahalnya, sebab pada
kenyataannya sama-sama dikomersialisasikan. Walaupun pemerintah melalui
dinas pendidikan telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar, tapi
komersialisasi pendidikan tetap berjalan seperti tidak mendapatkan
hambatan. Bahkan jika kita teliti secara lebih mendalam akan ditemukan
indikasi kebocoran anggaran yang sangat besar di dinas ini. Semakin
besar anggaran yang dialokasikan, maka semakin besar tingkat kebocoran
tersebut. Tidaklah heran jika banyak yang berasumsi bahwa di dinas ini
telah terjadi “Korupsi ganda”.
Hal seperti ini dapat kita lihat pada saat
dilangsungkannya Ujian Akhir Sekolah (UAS) atau Ujian Akhir Nasional
(UAN) tahun lalu. Tidak ada satu sekolahpun yang mengakui bahwa mereka
telah mengutip uang ujian, sebab hal tersebut dilarang oleh Dinas
pendidikan. Tapi para siswa mengaku membayar uang ujian dan dibebankan
membayar uang perpisahan yang jumlahnya kadangkala mencapai puluhan
bahkan ratusan ribu rupiah. Padahal masih berdasarkan APBD Langkat
TA.2004 Dinas pendidikan daerah ini telah mengalokasikan anggaran untuk
UAS sebesar Rp. 1.290.237.500,-. Jumlah tersebut adalah untuk biaya
pelaksanaan UAS 46.431 siswa yang terdiri dari 6069 siswa SMU, 16.022
siswa SLTP/MTs, 3340 siswa SMK dan 21.000 siswa SD. Anggaran ini
meliputi biya cetak lembar jawaban dan soal, biaya transport monitoring
UAS dan biaya untuk koreksi ujian.
Dari jumlah tersebut juga diketahui bahwa biaya UAS
satu orang siswa adalah Rp.37.500,- untuk siswa SMU, Rp. 30.000,- untuk
SLTP/MTs, Rp. 48.500,- untuk SMK dan Rp.21.500, untuk SD. Disamping itu
Dinas Pendidikan Langkat juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp.
499.880.000,- untuk pembelian buku paket IPA, IPS dan Matematika khusus
untuk siswa Sekolah Dasar. Namun ternyata semua siswa SD tetap dibebani
dengan biaya pembelian buku paket yang harganya mencapai
Rp.100.000,-/siswa.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia salah satunya
adalah diakibatkan buruknya system manajerial dan besarnya tingkat
kebocoran anggaran . Ditambah dengan banyaknya jumlah guru yang tidak
memenuhi kualifikasi menyebabkan pendidikan di negeri ini “bagai
cahaya lilin yang hampir padam”. Berdasarkan data dari
Direktur Tenaga Kependidikan (Ditendik) Dikdasmen Depdiknas tahun 2004,
tercatat guru SD, SLTP dan SMU yang tidak memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal sebanyak 991.243 guru atau 45,96%. Sementara yang
memenuhi kualifikasi pendidikan minimal 1.165.354 orang atau 50,04% dari
total 2.156.597 guru diseluruh Indonesia. Jadi tidaklah salah jika
Amidhan, salah seorang anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas
HAM) mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini pendidikan di
Indonesia mengalami kemunduran, bahkan telah sampai pada situasi krisis.
Uraian di atas mungkin dapat menjadikan gambaran
bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di negeri kita. Jadi, peringatan
Hardiknas yang dilaksanakan oleh berbagai daerah terutama Dinas
pendidikan tahun ini dan dikemas dengan label “syukuran”
mungkin menjadi peringatan Hardiknas yang “Kehilangan makna” dan hanya
sekedar “seremoni” belaka. Dan masih yakinkah kita bahwa
alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN dapat menyelesaikan persoalan di
bidang pendidikan ?. Bagaimana menurut anda ?. Salam.
*
Penulis adalah Koordinator Kelompok Studi dan Edukasi Masyarakat
Marginal
(K-SEMAR) Sumatera Utara.
* Artikel ini telah diterbitkan di
Surat Kabar Harian BERSAMA, Jum’at, tanggal 20 Mei 2005.
Sumber :http://ksemar.wordpress.com/2008/01/27/peringatan-hardiknas-yang-“kehilangan-makna”
Sumber :http://ksemar.wordpress.com/2008/01/27/peringatan-hardiknas-yang-“kehilangan-makna”
0 comments:
Post a Comment